Judul: Ijazah Setebal Dosa, Otak Setipis Kertas
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar
"Aku sekolah, maka aku pintar!" — katanya sambil menggenggam ijazah seperti kitab suci, padahal hidupnya gagal membedakan pengetahuan dengan kebijaksanaan. Inilah monolog satir dari mulut kertas bergelar sarjana, namun isi kepalanya nyaring karena kosong.
Puisi Satir Monolog
Aku adalah ijazah, setebal skripsi yang disalin dari Google Scholar, berpita emas, berbingkai kaca, menggantung bangga di ruang tamu, penuh doa ibu, penuh hutang bapak, namun otakku? Tipis. Tipis sekali. Setipis napas dosen penguji saat berkata, "Lulus."
Aku berteriak di seminar, mengacung tangan seperti bendera perang, "Negeri ini rusak karena kalian bodoh!" padahal aku tak paham bedanya APBN dan ATM, CV dan NPWP, politik dan plastik bekas.
Aku bicara soal ekonomi mikro dan makro, padahal aku tak tahu kenapa tukang parkir bisa lebih cepat hitung kembalian ketimbang aku menghitung potensi usaha di desa sendiri.
Aku kutip Paulo Freire dan Karl Marx, kubungkus omongan dengan teori-teori kuliah, sementara ibu di dapur masih bingung kenapa anaknya pintar tapi tidak berguna.
Ijazahku bersinar di map merah, namun pekerjaanku adalah mencela di komentar, membuka debat, memaki yang tak sepaham, menghina yang belum S2, seolah gelar bisa menggantikan akal sehat.
Aku percaya diriku bijak, padahal baru saja lulus magang hidup. Aku menilai orang dari nilai raportnya, aku ejek tukang becak, padahal ia tak pernah mencuri, tidak sepertiku yang mencuri data skripsi.
Aku menghitung IPK lebih dari empati, aku lupa bahwa guru pertama adalah lapar, pustaka pertama adalah tanah, kampus pertama adalah peluh bapak di sawah.
Aku cerdas, katanya, karena bisa berbicara bahasa asing, tapi aku tidak bisa memahami bahasa derita tetangga, atau kode air mata istri yang tak pernah kurawat.
Aku pamer piagam dan sertifikat, padahal tak pernah belajar rendah hati. Aku mengklaim tahu segalanya, padahal tak tahu letak kampungku di peta.
Aku bangga pada seminar yang tak kuikuti isinya, pada pelatihan yang kulupakan seminggu setelahnya, pada konferensi yang cuma kuikuti karena makan siangnya gratis.
Aku mahir teori, namun tak bisa menanam cabai, menyulam harapan, atau menjahit luka.
Aku bilang, “Pendidikan adalah kunci!” padahal pintunya pun tak kutahu letaknya. Aku berkoar tentang inovasi, namun hidupku repetitif seperti status medsosku yang penuh keluhan.
Aku anggap petani itu bodoh, karena tak kenal Google Drive, tapi aku tak bisa memanen apapun dari pikiranku.
Ijazahku seperti jubah imam, kubentangkan agar terlihat suci, padahal aku najis oleh kesombongan akademik, berdoa dengan slide presentasi, mengajar dengan PowerPoint yang meninabobokan.
Aku menulis paper tentang kemiskinan, sambil meneguk kopi di kafe mahal, membicarakan rakyat, padahal aku tak pernah menyapa satpam kantor.
Aku bilang kerja keras itu penting, padahal aku sendiri sibuk cari jalur pintas, minta rekomendasi ke pejabat, karena IPK tinggi tak menjamin dilirik HRD.
Aku olok mereka yang tak sekolah, padahal mereka bisa menafkahi, sedang aku hidup dari pulsa transferan.
Aku hina yang tak tahu statistik, padahal aku tak tahu bagaimana rasanya menggigit nasi hanya pakai garam, tanpa tahu arti "makan cukup" selain dari buku ekonomi rumah tangga.
Aku anggap gelar adalah mahkota, padahal itu cuma topi karton saat wisuda. Aku kira toga menyucikan, padahal hanya menyembunyikan kepala kosong di bawahnya.
Aku suka menyalahkan sistem, tapi tak pernah bercermin. Aku hafal UUD 1945, tapi lupa hukum karma dan malu.
Aku bangga ikut demo dengan spanduk teori, padahal tak tahu perjuangan ibu-ibu PKK yang tiap hari demo dengan panci.
Aku ejek yang tak lulus, padahal mereka yang menciptakan lapangan kerja. Aku hina yang kerja kasar, padahal mereka yang membangun gedung tempat aku duduk pamer ijazah.
Aku bilang sistem salah, padahal yang salah adalah keangkuhanku, mengira tahu semua hal hanya karena lulus tes seleksi.
Aku bicara soal meritokrasi, padahal aku sendiri belum pernah memberi nilai layak pada peluh orang kecil.
Ijazahku, setebal dosa. Otakku, setipis kertas. Hidupku, sempit oleh ego akademik. Mimpiku, kabur oleh birokrasi.
Aku kira aku dewa karena bisa mengetik cepat di Word, padahal aku bahkan tak bisa mengerti kata "ampun" dari ayah yang kecewa.
Aku menulis CV dengan bahasa Inggris, padahal surat terima kasih tak pernah kutulis untuk orang yang menolongku.
Aku bercita-cita jadi dosen, padahal aku belum pernah belajar mendengar. Aku mau jadi menteri, padahal aku belum bisa jadi manusia.
Ijazahku bukan alat bantu pikir, tapi pelindung arogansi. Dan aku, sarjana sejati dalam bidang salah arah.
Refleksi / Penutup
Puisi ini menggambarkan betapa seringnya gelar dan ijazah dijadikan simbol kebanggaan yang dangkal, tanpa disertai kemampuan berpikir jernih dan sikap rendah hati. Sindiran ini menyasar mereka yang merasa dirinya tinggi karena pendidikan formal, namun kosong dalam praktik dan jiwa. Pesannya jelas: pendidikan sejati bukan diukur dari kertas, tetapi dari bagaimana seseorang menjalani hidup, menghargai orang lain, dan memahami diri sendiri.