Kepala Botak Tanpa Otak, Otak Gak Buat Mikir

 


Pengantar Pendek

"Di dunia terbalik, kepala botak jadi simbol bijak—asal bisa menyuruh dan tak ditanya balik."
Ironi ini tentang rupa tanpa isi, jabatan tanpa jiwa, dan otak yang tak digunakan sebagaimana mestinya.


Kepala Botak Tanpa Otak, Otak Gak Buat Mikir

Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)

(Monolog Seorang Rakyat Jelata di Tengah Parade Pemimpin Gagah yang Tak Pernah Salah)

Aku berdiri di depan panggung,
menatap kepala-kepala mengkilat—
botak sempurna, mengilap seperti janji-janji kampanye
yang dijilat kembali setelah duduk manis di kursi empuk.

Mereka bilang,
“Semakin botak, semakin bijak.”
Tapi aku bertanya—di mana bijaknya
jika otaknya tak pernah dipakai untuk berpikir?

Ah iya, maafkan aku,
rupanya di dunia ini otak bukan buat mikir,
tapi buat ngejar proyek, buat nyari celah anggaran,
buat hafalin alur sogokan yang rapi seperti presentasi PowerPoint.

Kepala botak itu memandangku,
dengan sorot mata seperti CCTV,
mengawasi tapi tak pernah hadir,
siaga tapi tak pernah sadar,
aktif tapi tak pernah berpikir—karena berpikir itu melelahkan.

Otak itu, katanya,
lebih baik dipakai untuk ngitung peluang,
bukan merenung.
Lebih baik bikin jaringan, bukan gagasan.
Lebih baik lobi, daripada diskusi.
Lebih baik yes boss, daripada debat panjang.

Mereka naik ke mimbar,
dengan pidato hasil suntingan staf ahli,
yang isinya adalah kata-kata bijak dari Google
dan janji-janji manis yang bahkan Tuhan pun mungkin tak berani ucapkan.

Kepala botak itu,
bicara soal rakyat,
tapi tak pernah duduk di antara rakyat.
Bicara soal visi,
tapi rabun pada realita.
Bicara soal inovasi,
tapi menolak ide yang tak menguntungkannya.

Aku menatap mereka dari kejauhan—
lengkap dengan jas, pin emas, dan wajah penuh pencitraan.
Katanya ini pemimpin,
tapi bagiku mereka lebih mirip papan pengumuman,
yang bisa ditempeli agenda siapa saja—asal bayar.

Kepala botak tanpa otak,
tapi punya kuasa mengatur otak-otak lain yang masih waras.
Kepala botak tanpa otak,
tapi punya hak memutuskan masa depan orang banyak.
Kepala botak tanpa otak,
tapi dielu-elukan sebagai “visioner.”

Padahal mereka buta pada nalar,
tuli pada kritik,
dan hanya peka pada tepuk tangan.
Tepuk tangan yang dibayar, disusun, dijadwalkan.

Mereka bilang:
"Jangan banyak tanya!"
"Jangan macam-macam!"
"Ikuti saja alur birokrasi!"
Karena dalam dunia mereka,
berpikir itu bisa dianggap makar.
Bernalar itu bisa dianggap ancaman.

Aku heran,
kenapa kepala botak begitu banyak dipilih jadi simbol pemimpin?
Padahal isi kepala tak pernah diuji.
Cuma gaya bicara yang dilatih.
Cuma pose foto yang diperhatikan.
Cuma nama yang dijual di baliho dan spanduk.

Otak gak buat mikir,
otak buat ngatur strategi bertahan di kekuasaan.
Otak buat nyimpen backup plan kalau kena OTT.
Otak buat ngafalin siapa harus disuap, siapa harus diamankan.

Mereka tertawa saat rakyat menangis.
Mereka selfie saat banjir datang.
Mereka bikin proyek taman bermain,
padahal rakyat lebih butuh harga beras yang masuk akal.

Mereka ciptakan aplikasi layanan publik,
yang hanya berjalan jika koneksi bagus dan perangkat mahal.
Mereka luncurkan “smart city,”
tapi masih bingung cara benerin WC umum.

Kepala botak tak pernah merasa salah.
Karena jika ada kesalahan,
itu salah rakyat yang “kurang bersyukur.”
Kalau jalan rusak,
itu karena musim.
Kalau harga naik,
itu karena global.
Kalau proyek gagal,
itu karena pihak ketiga.
Kalau semua gagal, rakyat harus belajar sabar.

Ironis, ya?
Pemimpin botak tanpa otak bisa naik jabatan,
sementara dosen jujur dibungkam karena terlalu banyak membaca.
Aktivis diseret karena terlalu vokal.
Penulis diintip karena terlalu tajam.

Tapi kepala botak itu?
Naik terus, seperti harga BBM.
Disanjung terus, seperti rating sinetron murahan.
Dipuji terus,
karena telah berhasil membangun citra tanpa isi.

Aku hanya rakyat kecil,
yang memimpikan pemimpin dengan otak yang dipakai.
Bukan cuma kepala mengkilap.
Bukan cuma suara lantang.
Tapi otak yang berpikir—dan hati yang merasa.

Tapi sepertinya,
di dunia ini,
otak adalah barang mewah.
Dan berpikir adalah kejahatan tingkat tinggi.


Pesan Positif Puisi Ini:

Puisi ini menyindir keras realitas kepemimpinan yang sering menjual tampang dan pencitraan, tapi kosong dalam substansi.
Namun, harapan tetap ada:
Rakyat berhak menuntut pemimpin yang benar-benar berpikir dan hadir untuk rakyat, bukan hanya untuk proyek.
Mari kita rawat nalar, bukan sekadar simbol.
Mari kita pilih mereka yang berkepala jernih—dan otaknya benar-benar digunakan untuk berpikir, bukan hanya untuk bertahan hidup di panggung kekuasaan.


Puisi Ini Dipersembahkan Untuk:

Semua rakyat yang masih berpikir,
yang masih percaya bahwa kejujuran dan logika harus jadi syarat kepemimpinan.
Dan juga untuk para pemimpin—agar ingat: jabatan bukan topeng, otak bukan aksesori.


Sepatah Kata dari Pujangga Digital, Jeffrie Gerry (Japra):

“Puisi ini bukan serangan,
tapi peringatan.
Jika kepala hanya dipakai untuk tampil,
dan otak hanya untuk diam,
maka rakyat hanya akan terus disetir oleh kebodohan yang berpenampilan bijak.”

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.