Monolog Meja Sekolah yang Bosan Melihat Kebodohan Sistem
karya pujangga digital : Jeffrie gerry
(Didedikasikan untuk para pembuat kebijakan pendidikan yang lupa bahwa belajar bukan sekadar mengejar angka)
Aku,
meja kayu berukir nama,
tempat pena-pena patah dan mimpi-mimpi tersimpan dalam debu.
Sudah ratusan pantat duduk di atasku,
dan semuanya belajar untuk tidak berpikir.
Selamat datang di sekolah,
tempat di mana otak dikunci dan nilai jadi Tuhan.
Aku saksi bisu dari parade kebodohan yang disusun dengan kurikulum.
Silabus dibuat bukan untuk mengajar,
tapi untuk menyiksa jiwa-jiwa muda agar seragam dalam kegilaan.
Guru?
Ah, sebagian dari mereka lebih takut kehilangan pekerjaan
daripada kehilangan muridnya yang kehilangan arah.
Mereka mengajar demi lembar evaluasi,
bukan demi hati yang mengerti.
Mereka membaca diktat seperti membaca doa,
tanpa makna, tanpa cinta,
hanya karena “itu prosedurnya.”
Lihatlah anak itu,
ia menggambar dunia di balik bukunya,
tapi kau robek gambarnya karena “itu tidak sesuai indikator penilaian.”
Anak itu pernah bertanya,
“Apa gunanya belajar tentang kapal jika tak pernah diajari berenang?”
Tapi guru menjawab:
“Itu ada di semester depan.”
Aku melihat buku-buku berat,
tapi kosong.
Berat di punggung, kosong di isi.
Sementara kepala penuh angka,
tapi hati kosong makna.
Logaritma diajarkan dengan sakral,
tapi logika tak pernah diizinkan membantah soal ujian.
Sistem ini,
seperti jam rusak yang masih dipuja karena terbuat dari emas.
Mereka berkata,
“Belajar itu penting,”
tapi membatasi tanya,
membungkam rasa ingin tahu,
karena takut murid jadi lebih cerdas dari yang mengajar.
Ironi?
Aku menyebutnya kejahatan.
Karena di balik papan tulis yang hitam,
ada masa depan yang dicoret dengan kapur.
Sarkasme menjadi makananku sehari-hari,
karena bagaimana mungkin
sebuah sistem yang katanya mendidik
melarang anak mengekspresikan diri?
Katamu seni itu pelarian,
lalu kenapa pelariannya dilarang?
Pendidikan karakter?
Oh, izinkan aku tertawa dalam bahasa Latin kuno.
Kau ajarkan kejujuran,
tapi ranking ditentukan dari hafalan,
dari contekan berjamaah,
dan dari les privat yang hanya bisa dibeli orang kaya.
Sekolah gratis?
Tentu.
Baju wajib, tas wajib, sepatu wajib,
semuanya berlogo,
semuanya berbayar.
Kecuali pikirannya—itu harus tetap gratis,
agar tak jadi ancaman bagi sistem.
Parodi?
Cobalah dengar pidato kepala sekolah:
“Kita mencetak generasi unggul,
berakhlak mulia dan siap menghadapi tantangan global!”
Tapi anak-anak bahkan tak tahu cara mengisi formulir pajak,
atau menulis surat lamaran kerja.
Aku lelah.
Menjadi meja yang menopang buku yang tak pernah dibaca sepenuh hati.
Menjadi altar bagi upacara belajar yang lebih mirip pemakaman kreativitas.
Ada anak yang ingin jadi musisi,
tapi dipaksa mencintai trigonometri.
Ada yang ingin jadi petani,
tapi disuruh menghafal teori kapitalisme.
Ada yang ingin jadi seniman,
tapi dibilang:
“Tidak ada masa depan dari menggambar.”
Aku ingin berteriak:
Hei, dunia!
Berhentilah mendikte anak-anak dengan masa depan yang bukan milik mereka!
Tapi aku hanya meja.
Dibelai kapur dan penghapus,
diabaikan saat ujian selesai.
Aku hanya saksi,
dari generasi yang dicetak,
bukan dibentuk.
Lalu datanglah menteri baru,
dengan jargon baru.
Sistem diganti, nama dirombak,
tapi isi tetap sama.
Pendidikan jadi panggung sandiwara politik.
Anak-anak jadi aktor tanpa naskah,
dipaksa menghafal dialog
tanpa pernah tahu ceritanya.
Paradoks terbesar?
Sekolah mengajarkan kebebasan berpikir
dengan cara yang paling otoriter.
Katamu ini demokrasi,
tapi suara siswa hanya didengar saat mereka diam.
Sementara itu,
aku—si meja tua—masih di sini,
mendengar tangis dalam diam,
melihat bakat dihukum,
dan potensi dikubur hidup-hidup
di balik lembar soal pilihan ganda.
Pilih A, B, C, D.
Tapi tidak ada pilihan untuk jadi diri sendiri.
Oh, betapa dunia telah gagal
mendidik dengan hati.
Lebih sibuk mencetak lulusan
daripada membesarkan manusia.
Pesan Positif di Ujung Duka
Namun aku tak sepenuhnya putus asa.
Karena di setiap malam,
aku melihat satu-dua guru yang masih menyalakan pelita,
yang menatap mata murid dan berkata:
“Kau berharga, meski nilaimu tidak.”
Aku melihat orang tua yang tak lagi bertanya,
“Nilaimu berapa?”
tapi,
“Apa yang kau pelajari hari ini?”
Aku melihat siswa yang menulis puisi di balik buku matematika,
yang diam-diam mencintai belajar
meski tak pernah mencintai sekolah.
Dan aku percaya,
satu pikiran yang bebas
lebih kuat dari seribu silabus yang mati.
Kepada Siapa Puisi Ini Diberikan
Puisi ini kutujukan kepada:
-
Para pengambil kebijakan pendidikan yang lupa tujuan hakikinya: membebaskan, bukan mengekang.
-
Guru yang masih menyalakan semangat meski sistem memadamkan cahaya.
-
Orang tua yang mulai sadar bahwa nilai bukan segalanya.
-
Murid-murid yang masih berani bermimpi, bahkan ketika mimpi itu tidak diujikan.
Penutup
Jadi, jika kau membaca ini,
dan hatimu berdesir,
mungkin,
kau adalah salah satu alasan kenapa aku—si meja tua—masih bertahan.
Masih rela menopang pena, buku, dan mimpi,
demi hari ketika sistem tidak lagi membunuh keingintahuan.
Hari ketika sekolah bukan penjara,
tapi rumah.