Judul: Monolog Siswa Cerdas yang Dipaksa Bodoh oleh Sistem
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Pengantar
"Aku tidak malas, hanya muak. Bukan tak bisa belajar, hanya tak ingin diajari kebodohan yang dikemas seperti kebenaran."
Puisi Satir Monolog
Aku adalah siswa yang katanya cerdas, dulu kutulis puisi di balik buku matematika, kugambar mimpi di sela jam pelajaran yang absurd. Tapi kini aku duduk kaku, menghafal, mengisi, menyalin, dan diam. Karena katanya, begitu caranya jadi pintar di negeri ini.
Aku ingin tahu, tapi dilarang bertanya. Aku ingin mencoba, tapi disuruh ikut aturan. Aku ingin kritis, tapi disuruh diam. "Ikuti kurikulum," kata guru yang lelah. "Jangan banyak tanya," kata sistem yang lebih suka angka ketimbang akal.
Mereka bilang aku cerdas kalau jawabanku sama dengan kunci jawaban. Tapi tak satu pun dari mereka bisa jawab: kenapa hidup terasa sempit di ruang kelas? kenapa nilai lebih penting dari nilai-nilai? kenapa aku harus hapal nama presiden, tapi tak tahu cara hidup jujur?
Kata mereka, pendidikan itu membebaskan. Tapi kenapa aku merasa dipenjara dengan ujian? Setiap hari kuhitung hari sampai kelulusan, bukan karena cinta sekolah, tapi ingin bebas dari siksaan jadwal.
Aku diminta jadi juara kelas, bukan karena aku hebat, tapi agar sekolah punya piala. Aku disuruh ikut lomba karya tulis, padahal idenya bukan dari otakku, diktat, contekan, template juara tahun lalu.
Katanya aku masa depan bangsa. Tapi masa depanku sudah ditentukan, oleh soal pilihan ganda, oleh lembar jawaban komputer, oleh guru yang menatap layar, bukan mataku.
Mereka ajarkan sejarah yang dipilih, biar aku bangga jadi warga, tapi buta pada luka bangsa. Mereka ajarkan ekonomi dengan grafik, tapi diam soal kemiskinan di depan pagar sekolah.
Aku belajar Bahasa Indonesia, tapi tak pernah diajari cara berkata jujur. Aku belajar agama, tapi tak pernah diajari rasa takut pada korupsi. Aku belajar IPA, tapi tak tahu kenapa bumi makin panas dan manusia makin dingin.
Aku tak malas, aku hanya kecewa. Mereka beri aku buku, tapi tak beri ruang untuk berpikir. Mereka beri aku tugas, tapi tak ajarkan aku makna.
Mereka suruh aku patuh, tapi tak memberi teladan. Mereka suruh aku rajin, tapi mereka sendiri sibuk rapat dana BOS. Mereka bilang jangan menyontek, tapi ajari cara-cara licik di balik proyek sekolah.
Aku ingin sekolah, tapi tak ingin dibodohi. Aku ingin belajar, tapi bukan jadi robot pengisi soal. Aku ingin tahu dunia, tapi tak lewat lembar fotokopi lusuh yang diulang tiap tahun.
Kenapa yang kreatif dibilang pembangkang? Kenapa yang kritis dianggap ancaman? Kenapa semua harus sama, seragam, seirama, walau dalam kesesatan massal?
Aku tanya: kenapa nilai 100 lebih penting dari empati? Kenapa rapor lebih suci dari rasa ingin tahu? Kenapa tugas menumpuk, tapi makna hilang?
Karena inilah sistem: mesin penggiling rasa penasaran, pabrik pencetak ijazah, bukan manusia. Sekolah bukan rumah ilmu, tapi arena seleksi paling awal siapa yang patuh, siapa yang dibuang.
Aku lelah jadi boneka. Dikontrol dari kepala sekolah ke dinas, dari dinas ke kementerian, dari kementerian ke politikus yang tak pernah masuk kelas, tapi menentukan isi kepala kami.
Lalu aku disebut generasi rebahan. Padahal tempat berdiri pun sempit. Katanya kami tidak nasionalis, padahal kami dituntut mencintai negara yang menekan kami sejak SD.
Aku ingin membaca puisi, tapi disuruh hafal rumus kimia. Aku ingin diskusi tentang masa depan, tapi disuruh diam dan isi soal latihan UTBK. Aku ingin tahu siapa aku, tapi sistem lebih ingin aku menjadi statistik.
Guru-guruku pun korban, lelah, tertindas, dan dibungkam. Ingin mengajar, tapi dikejar administrasi. Ingin membimbing, tapi tak diberi waktu. Ingin membela muridnya, tapi takut SK dicabut.
Mereka pun frustrasi, sama sepertiku. Tapi mereka lebih tua, lebih kalah, sudah terlalu lama tunduk pada sistem yang sama.
Aku tak menyalahkan guru, kami satu kapal, karam bersama. Yang kupersoalkan: kenapa kapal ini tetap dipakai, walau semua tahu bocor dari dek sampai mesin?
Aku adalah siswa yang dipaksa bodoh. Penuh potensi, tapi disumbat prosedur. Penuh ide, tapi dibungkam struktur. Penuh semangat, tapi dibekukan oleh lembar kerja.
Dan kalian masih bertanya, kenapa murid bunuh diri? kenapa siswa membenci sekolah? kenapa generasi muda tak punya semangat?
Lihatlah, bukan karena kami tak punya masa depan, tapi karena masa depan kami dibunuh pelan-pelan, oleh jam pelajaran yang tak memberi pelajaran. Oleh nilai yang membunuh makna. Oleh sistem yang mencetak keseragaman dan membunuh keunikan.
Aku ingin berteriak: "Biarkan aku menjadi manusia, bukan hanya murid!" Tapi suaraku hilang dalam dering bel sekolah. Dalam sidik jari absen. Dalam LKS dan try out dan TO dan kurikulum yang diganti tiap menteri ganti kursi.
Mereka bilang sekolah adalah cahaya. Tapi kenapa setiap pagi rasanya seperti neraka? Mereka bilang pendidikan adalah pembebasan, Tapi kenapa aku merasa terpenjara?
Aku ingin membongkar sistem ini, bukan karena benci, tapi karena cinta. Karena aku ingin generasi setelahku,\ntak lagi merasakan apa yang kutanggung. Karena aku tahu, ada ribuan murid cerdas yang dipaksa bodoh, yang mimpi-mimpinya dimatikan dengan nilai, yang pikirannya dipenjara dalam kisi-kisi ujian.
Refleksi / Penutup
Monolog ini adalah jeritan hati siswa yang muak dengan sistem pendidikan yang lebih mencetak keseragaman ketimbang kecerdasan, lebih mengejar nilai daripada makna. Sindiran ini menyasar sistem yang membuat siswa seolah patuh, tapi kosong. Pesan moralnya sederhana tapi keras: pendidikan yang sejati tidak membunuh rasa ingin tahu, melainkan membesarkannya. Pendidikan bukan tentang mencetak lulus ujian, tapi tentang membuka mata untuk melihat hidup.