Pengantar Pendek
"Di negeri yang kurikulumnya bersandar pada anggaran, anak yang berpikir justru dianggap berbahaya."
Inilah kisah satir tentang sekolah yang lebih suka proyek daripada pemikir sejati.
Anak Pintar Tak Laku di Sekolah Proyek
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry (Japra)
(Aku berdiri di depan kelas,
tapi bukan untuk belajar—melainkan jadi bahan lelucon kebijakan.)
Aku anak pintar,
tapi katanya... aku terlalu banyak tanya.
"Jangan ganggu sistem dengan logika,"
kata guru yang sibuk menyusun LPJ dan kuitansi fiktif.
Aku anak pintar,
tapi nilainya tak bisa dibeli lewat proyek anggaran.
Jadi aku dianggap tidak fleksibel.
Tidak bisa diajak kerja sama.
Tidak punya “jiwa kolaboratif” katanya—
karena aku tak ikut tepuk tangan saat sekolah dapat bantuan dana.
Di sekolah proyek, nilai bukan diukur dari pengetahuan,
tapi dari jumlah foto dokumentasi kegiatan
yang bisa dikirim ke Dinas,
lengkap dengan spanduk dan jargon.
"Belajar Menyenangkan Berbasis Anggaran."
Aku anak pintar,
tapi mereka lebih bangga pada murid yang jago presentasi PowerPoint
tentang "wirausaha berbasis subsidi."
Sementara aku membaca buku Sokrates diam-diam,
karena filsafat dianggap terlalu “tidak aplikatif.”
Aku bertanya tentang integritas,
mereka balas dengan kata “administrasi.”
Aku mengusulkan debat,
mereka ajak “study tour ke luar kota.”
Yang penting: foto-foto!
Like, comment, dan… SPJ yang lengkap.
Aku anak pintar,
tapi mereka lebih suka anak yang bisa tampil di lomba
meski isinya hafalan naskah buatan guru.
Karena jika menang,
sertifikatnya bisa dicetak,
dan prestasi sekolah naik—
tanpa perlu berpikir, hanya perlu strategi proposal.
Guru-guru bicara tentang “merdeka belajar,”
tapi kelas kami tak pernah benar-benar bebas
dari tekanan “laporan kegiatan tahunan.”
Setiap ideku dianggap terlalu “rumit,”
padahal aku hanya ingin belajar jujur dan berpikir lurus.
Di sekolah proyek,
kepala sekolah lebih rajin mengikuti bimbingan teknis
daripada membacakan puisi Chairil Anwar.
Karena yang penting:
“output, bukan outcome.”
“dana terserap, bukan wawasan terserap.”
Aku anak pintar,
tapi aku tak bisa menjilat.
Tak bisa ikut nyanyi-nyanyi dalam rapat kerja sambil goyang TikTok.
Katanya, "kamu ini kurang supel."
Padahal aku hanya ingin belajar—bukan ikut festival pencitraan.
Aku membaca buku,
saat yang lain membuat mading tentang “Manfaat Sponsorship dalam Dunia Pendidikan.”
Aku membaca sejarah,
saat yang lain sibuk mencetak pin dan stiker program sekolah unggulan.
Aku membaca hati nurani,
tapi mereka membaca angka belanja.
Aku bertanya:
"Kenapa anggaran pelatihan guru lebih besar daripada pengadaan buku?"
Lalu mereka geleng kepala,
seakan aku baru saja menghina dewa-dewa pengadaan.
Aku anak pintar,
tapi tak punya koneksi.
Tak bisa jadi panitia proyek.
Tak paham cara main proposal.
Jadilah aku terpinggirkan,
oleh sistem yang lebih mencintai form daripada substansi.
Mereka bilang:
"Anak seperti kamu terlalu kaku,
dunia nyata itu fleksibel."
Oh, maaf,
kupikir dunia nyata adalah tempat di mana
kebenaran tidak bisa dinegosiasi.
Aku dijuluki anak sok tahu,
karena menulis esai tentang korupsi dana BOS.
Padahal aku hanya mencatat kenyataan yang terjadi di balik tirai.
Tirai yang penuh kuitansi palsu dan absensi fiktif.
Aku anak pintar,
tapi mereka lebih percaya murid yang bisa ikut seminar daring
dan posting foto dengan latar belakang Zoom bertuliskan "Pelatihan Nasional."
Walau isinya… entah.
Satu hari, aku mencoba bicara:
"Apa arti pendidikan, jika hanya jadi proyek musiman?"
Mereka tertawa,
lalu mengajakku rapat rencana pembuatan taman literasi berbasis CSR.
Katanya, "Kita harus inovatif."
Tapi setiap ideku dianggap "tidak bisa diuangkan."
Katanya, "Pendidikan itu investasi."
Tapi setiap anak yang berpikir dianggap ancaman.
Aku anak pintar,
yang dicatat dalam laporan hanya sebagai "murid kritis yang perlu dibina."
Sementara yang pandai menyenangkan sistem—dapat penghargaan karakter.
Oh, sekolahku…
engkau bukan lagi rumah ilmu,
tapi kantor tender berkedok kurikulum.
Di mana guru jadi manajer proyek,
murid jadi brand ambassador.
Sekolah proyek,
tempat buku kalah oleh banner.
Tempat diskusi kalah oleh seminar.
Tempat berpikir dikalahkan oleh "target kegiatan."
Aku anak pintar,
bukan karena ingin sombong—
tapi karena ingin mengerti.
Tapi mereka tak suka aku mengerti.
Karena jika semua murid mengerti,
tak ada lagi ruang untuk manipulasi.
Aku anak pintar,
yang kini berdiri di ujung sekolah
menatap mural besar bertuliskan:
"Sekolah Hebat, Berintegritas, Berprestasi."
—ditempel dengan dana hibah yang penuh revisi.
Pesan Positif Puisi Ini:
Puisi ini menggambarkan keresahan akan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada proyek dan pencitraan,
hingga melupakan esensi sejati dari belajar: pencarian kebenaran dan pembentukan karakter.
Semoga puisi ini menjadi pengingat:
bahwa anak pintar bukan ancaman,
dan berpikir kritis bukan dosa.
Mari ciptakan sekolah yang memberi ruang untuk kejujuran, logika, dan nurani.
Puisi Ini Dipersembahkan Untuk:
Para guru sejati, murid pencari kebenaran, dan semua insan pendidikan yang masih percaya bahwa belajar bukan hanya demi laporan akhir tahun,
tetapi demi masa depan yang utuh dan bermakna.
Sepatah Kata dari Pujangga Digital, Jeffrie Gerry (Japra):
“Puisi ini bukan amarah, tapi cermin.
Cermin bagi dunia pendidikan yang sering lupa:
anak pintar bukan untuk dijual,
tapi untuk dibina agar dunia jadi lebih waras.”