Pendidikan adalah pintu masa depan, kecuali bila kuncinya hilang dan pintunya cuma dilukis di tembok.
Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)
Selamat pagi, wahai murid-murid penuh hormat Hari ini kita akan belajar tentang: Taat Tanpa Tanya Karena di negeri ini, jawaban sudah dikunci Dan kunci itu disimpan dalam saku celana guru yang lupa bahwa berpikir itu bukan dosa.
Kita hafalkan: Rumus keberhasilan = diam + nilai bagus – protes + ikut bimbel Jika kau bertanya: "Mengapa?" Maka silakan ke ruang BP Karena berpikir kritis bisa menular seperti virus yang belum ditemukan vaksinnya.
Pendidikan adalah lomba lari di atas treadmill Semua lelah, semua berkeringat, semua merasa maju Tapi posisi tetap di tempat, hanya guru yang bilang: "Bagus, kau cepat sekali!" Padahal kita hanya jadi kucing mengejar laser pointer yang tak pernah bisa ditangkap.
Anak-anak dipaksa mencintai angka Bukan makna Dipaksa mengeja sejarah seperti mantra Tanpa tahu siapa yang menulisnya dan untuk kepentingan siapa.
Mari kita ucapkan: "Terima kasih, kurikulum! Engkau telah mengubah kami menjadi mesin ketik manusia." Setiap ujian adalah pengakuan dosa Dan lembar jawabanmu adalah Kitab Suci Baru Isinya bukan hikmat, tapi pilihan ganda dan angka skala 1–100
Apa itu pemikiran? Apa itu pendapat? Apa itu keresahan? Maaf, itu tidak termasuk dalam kisi-kisi ujian nasional.
Sekolah adalah sirkus, dan kita monyet-monyet pintar Dilatih untuk melompat di ring api Dengan iming-iming medali plastik Yang bisa dilelehkan menjadi pengakuan palsu: "Saya lulusan terbaik!"
Guru kami pun sudah seperti robot Berseragam rapi, gajinya kurang, idealismenya tinggal kenangan Mengajar bukan karena cinta, Tapi karena cicilan rumah dan absen sidik jari setiap Senin.
Di balik meja guru, ada papan tulis Di balik papan tulis, ada lubang hitam Menghisap semangat anak-anak Yang pernah bermimpi menjadi pelukis, penari, penjelajah Mars Tapi kini hanya ingin lulus, lulus, lalu kerja di tempat mana saja.
Oh, lihatlah, anak kecil yang dulu berkata: "Aku ingin membuat mesin waktu!" Kini berkata: "Aku ingin kerja apa saja, asal dapat BPJS dan cuti tahunan."
Begitu hebat pendidikan membunuh cita-cita Dengan senyuman dan nilai rapor merah jambu Yang menyembunyikan fakta bahwa otak tak pernah digunakan Hanya diisi, bukan diajak bicara.
Kami diajari cara menjawab Tapi tidak cara bertanya Kami dipuji saat seragam kami rapi Tapi dihukum bila isi kepala kami berantakan oleh pertanyaan.
Murid yang patuh akan naik kelas Murid yang kritis akan dikucilkan Sementara sang juara kelas hanyalah juara dalam menghafal Bukan dalam hidup
Setiap pelajaran adalah doa massal Kita sembah buku paket seperti kitab suci Padahal penulisnya tak pernah tahu siapa kita Dan isi bukunya ditulis sebelum internet diciptakan.
Ada pelajaran bernama "Kewarganegaraan" Yang mengajarkan kita menjadi warga yang baik: Yaitu yang tidak bertanya soal korupsi Tidak protes bila jalan rusak Dan diam saat listrik naik.
Oh, kebodohan yang sistematis, betapa elegan dirimu Kau dikemas dalam meja, kursi, dan seragam Kau hadir di ruang ber-AC Dengan LCD projector dan PowerPoint motivasi "Jadilah sukses seperti Pak Menteri, yang pernah duduk di bangku ini."
Kami dipaksa mencintai guru, meski mereka bosan Dipaksa mencintai pelajaran, meski tak pernah diajak berdialog Dipaksa mencintai negeri, meski negeri mencintai kami hanya saat pemilu tiba.
Pendidikan adalah konser dangdut tanpa penonton Yang hadir hanya pejabat dan anggaran Kami, anak-anak ini, hanyalah latar belakang Yang berdiri diam di panggung Sambil senyum palsu dan memakai baju adat.
Setiap sekolah adalah birokrasi kecil Surat izin keluar kelas lebih penting dari ide besar Kreativitas dianggap mengganggu Dan mimpi dianggap distraksi dari rencana lima tahunan.
Kami disuruh jadi kompetitif Tapi tak pernah diajari empati Kami disuruh jadi cerdas Tapi tak diberi ruang untuk salah Kami disuruh jadi pemimpin Tapi tak pernah diberi kesempatan bicara.
Sekolah adalah pabrik manusia seragam Dengan lulusan yang punya satu visi: Lulus, kuliah, kerja, mati. Yang berani keluar jalur? Akan dianggap aneh, dikirim ke konselor Atau dibujuk ikut seminar motivasi: "Kembali ke jalan lurus bersama soft skill."
Kami disuruh membuat esai tentang pahlawan Tapi jika kami memilih aktivis HAM, kami disuruh ganti topik "Tulis saja tentang tokoh-tokoh aman seperti Pangeran Diponegoro." Yang sudah lama wafat dan tak bisa membela diri.
Di ruang guru, nilai kami jadi bahan tawar-menawar "Anak ini aktif, nilai tambah 5." "Anak ini anak pejabat, jangan kasih merah."
Apa itu keadilan? Apa itu kebenaran? Kita diajari itu semua di teori Tapi kenyataan? Disimpan di laci kantor kepala sekolah.
Kita disuruh cinta buku Tapi perpustakaan jadi gudang bolong Bukunya tua, berdebu, dan tak pernah dibuka Librarian-nya pun lebih senang main TikTok Daripada mengajarkan cara mencintai bacaan.
Pelajaran agama? Ah, itu jam suci Tempat murid menghafal ayat Tanpa tahu aplikasinya di dunia nyata Karena setelah doa selesai, semua kembali saling buli, saling tipu, saling tikung.
Ujian nasional? Festival kebohongan massal Satu kelas kerja sama, satu guru pura-pura tak lihat Yang penting semua lulus Agar sekolah tak malu, dan kepala sekolah bisa tidur tenang.
Sekolah ini bukan rumah ilmu Ini tempat penjinakan liar Anak-anak masuk dengan mata berbinar Keluar dengan pundak berat dan mimpi kecil.
Oh, pendidikan… Kami mencintaimu seperti tahanan mencintai penjaganya Dengan pasrah, dengan terpaksa, dengan harapan kecil akan remisi.
Refleksi:
Puisi ini adalah teriakan yang dibungkus tawa getir. Sindiran ini menyasar sistem pendidikan yang mengajarkan kepatuhan buta, menghukum pertanyaan, dan menyanjung hafalan. Ini bukan kritik terhadap guru, tapi terhadap kerangka yang memenjarakan mereka. Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menjinakkan. Pesan moralnya jelas: saat pendidikan kehilangan jiwanya, yang lahir bukan manusia merdeka, tapi robot berpakaian seragam. Saatnya mendobrak—bukan demi gaduh, tapi demi merdeka berpikir.