Ketika Guru Menjadi Robot Kurikulum

 


Ketika Guru Menjadi Robot Kurikulum

Di sebuah negeri bernama Formalitas,
tempat anak-anak ditimbang bak berat beras,
guru tak lagi mendidik dengan jiwa bebas,
melainkan taat pada modul dan perintah atasan yang keras.

"Selamat datang di abad kecerdasan buatan,"
teriak kepala sekolah dengan senyum tipuan.
"Guru adalah pemandu silabus, bukan pelukis kehidupan.
Jangan menyimpang! Jangan berimajinasi! Jangan terlalu banyak pertanyaan!"


Ia berdiri di kelas, bernama Pak Darma,
dulu pahlawan tanpa tanda jasa,
kini hanya sekrup dalam mesin negara,
tertatih membaca LKS tanpa makna.

Tiap pagi disambut absen digital,
fingerprint tak mengenal lelah atau moral.
Tak ada ruang untuk puisi atau jurnal,
hanya "KD" dan "KI" yang dianggap sakral.


Anak-anak di hadapannya—mata nanar,
menghapal rumus, definisi, dan pasal dasar.
"Jangan berpikir! Ikuti jawaban benar!"
sebab kreativitas dianggap liar dan bahaya besar.

Si Budi bertanya, "Pak, kenapa kita belajar ini?"
Pak Darma menunduk, mencatat, tak berani bersaksi.
Sebab jika ia jawab di luar kisi-kisi,
akan datang surat panggilan dari dinas edukasi.


Guru bukan lagi penjaga cahaya,
melainkan juru baca dari buku yang membuta.
Kurikulum digubah oleh pemegang kuasa,
yang tak pernah masuk kelas, tapi mengatur dari menara.

Sekolah adalah pabrik seragam rasa,
anak-anak dikalibrasi dalam angka dan kasta.
Siapa nilai tinggi dipuja luar biasa,
yang lamban dibilang beban negara.


Kreativitas terkubur dalam lembar jawaban,
kebenaran tunggal ditulis dalam pilihan.
Guru pun tak boleh menyimpang dari pedoman,
meski nuraninya menangis dalam diam.

Pendidikan bukan lagi ladang pencerahan,
melainkan pasar kompetisi dan angka-angka penilaian.
Jika tak sesuai target, guru dapat peringatan,
bahkan bisa disisih tanpa penjelasan.


Pak Darma ingin bercerita tentang kemanusiaan,
tentang revolusi, penderitaan, dan harapan.
Namun silabus berkata, "Bicaralah tentang subjek dan predikat,
jangan ajarkan mereka berpikir atau memberontak."

Sang kepala sekolah memantau lewat CCTV,
setiap kata, setiap gerak, diawasi.
"Jangan lupa update RPP mingguan,
dan isi platform pelaporan dengan kerajinan!"


Lalu datang pelatihan yang katanya revolusi,
berjam-jam membahas aplikasi dan teknologi.
Tapi lupa ajarkan empati dan filosofi,
guru digembleng seperti sales presentasi.

"Gunakan metode yang aktif dan menyenangkan!"
teriak fasilitator yang membaca dari layar tampilan.
Tapi tak pernah mencium bau kapur dan keringat perjuangan,
yang hanya bisa dirasakan di dalam ruang pertempuran.


Di kelas, Pak Darma mencoba tersenyum,
meski hatinya telah jadi debu dan lumpur.
Ia bukan lagi pendidik dengan misi luhur,
melainkan penyampai kurikulum yang kaku dan makmur.

Setiap lembar evaluasi menjadi penghakiman,
bukan pada siswa, tapi pada ketakutan.
Jika nilai tak naik sesuai harapan,
guru dicatat sebagai “perlu pembinaan.”


Suatu hari, ia menulis di papan:
“Anak-anak, mari kita bicara tentang kehidupan.”
Mata siswa terbuka, wajah bersinar,
tapi bel berbunyi, dan supervisor datang marah-marah.

“Kenapa Anda tidak mengikuti indikator?”
“Kenapa Anda mengajarkan topik liar?”
“Apakah Anda tahu ini bisa membuat sekolah terlempar,
dari daftar akreditasi dan ranking nasional yang besar?”


Pak Darma pun duduk, menahan getir,
menghapus kata "hidup" dan mengganti dengan "struktur."
Kepala menunduk, tangan gemetar,
tapi sistem ini tak mengenal sabar.

Ia ingat masa lalu, saat guru bisa merdeka,
mengajar dengan hati, bukan angka.
Sekarang guru harus tunduk pada data,
dan nilai rapor menjadi nyawa.


Anak-anak pun tumbuh dengan tubuh besar,
namun jiwa kecil dan penuh gentar.
Mereka tahu rumus, hukum, dan tata bahasa,
tapi bingung saat ditanya: “Siapa kamu sebenarnya?”

Mereka tak tahu bagaimana merangkul dunia,
sebab hidup telah dijinakkan dalam kertas dan pena.
Dan guru, sang penjaga hikmah dan makna,
telah dijadikan mesin, tanpa cinta.


Dan negeri ini pun melaju cepat,
membanggakan statistik dan data hebat.
Tapi lupa bahwa pendidikan sejati tak diukur cepat,
melainkan tumbuh lambat—dalam jiwa yang kuat.

Pak Darma akhirnya pensiun dini,
dengan hati setengah mati.
Ia menulis di buku hariannya:
"Aku pernah jadi guru, tapi kini aku hanya… instruksi yang diikuti."


EPILOG:

Ketika guru menjadi robot kurikulum,
anak-anak kehilangan lentera di dalam gulita.
Ketika pendidikan menjadi mesin pelabelan,
kita semua tersesat dalam ilusi kemajuan.

Dan suatu hari kelak,
di negeri bernama Formalitas,
orang-orang akan bertanya:
"Kenapa kita semua tahu segalanya, tapi tak mengerti apa-apa?"

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.