Sekolah Penuh Hafalan, Otak Penuh Angan

 


🧠 Judul: "Ijazah untuk Tuhan, Hafalan untuk Neraka"

📜 Pengantar:
Anak-anak kita melafal isi dunia, tapi tak pernah bertanya: siapa yang menulisnya?
Sekolah menjadi pabrik, otak menjadi gudang. Mari kita masuk ke dalamnya, tanpa jaminan keluar sebagai manusia.

✍️ Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)



Aku duduk di bangku tiga kayu tua,
dalam ruangan bau kapur dan debu dosa,
di mana guru berdiri seperti nabi tanpa wahyu,
membaca kitab suci bernama Modul Kurikulum.

"Anak-anak, ulangi!" katanya,
dengan suara seperti lonceng pemanggil domba.
Dan kami—ya, kami domba-domba pintar—
menghafal, menelan, tanpa dikunyah, tanpa rasa.

Pasal 31, Ayat 1 Undang-Undang Pendidikan:
“Kau tidak boleh berpikir, sebelum mengulang.”
Kami dilatih menjadi burung beo nasionalis,
dengan lidah kaku, otak dibungkus plastik.

Guru bilang, Einstein itu jenius.
Tapi bila aku menjawab pakai logika,
aku dianggap durhaka.
Logika? Tidak ada di kisi-kisi ujian!

Sekolah kami penuh slogan manis:
“Menjadi Generasi Emas 2045!”
Tapi emas kami palsu,
dilapisi cat nilai 100 dari contekan kolektif.

Ujian Nasional?
Itulah hari penghakiman paling suci!
Hari ketika 13 tahun pendidikan,
diringkas jadi 60 soal multiple choice.

Aku hafal nama-nama presiden,
tapi tak tahu mengapa rakyatnya mati lapar.
Aku hafal panjang sungai Amazon,
tapi tak tahu sungai dekat rumahku tercemar.

Aku tahu rumus Kimia Asam Basa,
tapi tak tahu rasa pahit hidup tukang parkir.
Aku bisa tulis pidato Bahasa Inggris,
tapi tak bisa ngobrol dengan turis.

Guru bilang, “Bacalah buku sejarah!”
Tapi yang tersedia hanya versi pemenang.
Yang kalah, dilupakan di pojok catatan kaki,
seperti mantan yang diblokir karena menyakitkan.

Kami diajari bahwa pahlawan tak pernah salah.
Bahwa negeri ini harum budi dan tata krama.
Tapi ayahku dipecat karena tak nyetor “jatah”,
dan ibuku ditolak kerja karena tak punya “orang dalam.”

Sekolah itu katanya tempat cita-cita.
Tapi lebih mirip halte bagi bus cita-cita orang tua.
“Anakku harus jadi dokter!”
Padahal anaknya takut lihat darah sendiri.

Setiap pagi kami hormat bendera,
tapi tak tahu mengapa harga beras naik.
Kami hafal sila-sila Pancasila,
tapi takut bicara soal keadilan sosial.

"Jangan bertanya soal sistem!"
kata pak guru, sambil tersenyum penuh makna.
“Yang penting lulus, lalu kerja, lalu mati.
Jangan macam-macam, nanti susah hidupmu!”

Buku paket seperti Alkitab,
tak boleh ditandai, tak boleh dikritik.
Jika kau tanya, “Pak, kenapa isinya lawas?”
“Jangan banyak tanya, nanti nilaimu jatuh.”

Kami disuruh lomba cerpen,
tapi temanya sudah ditentukan:
"Keindahan Alam dan Cinta Tanah Air."
Tulis soal korupsi? Nilaimu E.
Tulis soal alien kapitalisme? Diskors 3 hari.

Sekolah kami punya visi:
“Religius, Nasionalis, Mandiri, Inovatif, Kompetitif.”
Tapi muridnya hanya pintar mencontek,
dan guru-gurunya jual soal bocoran via grup WhatsApp.

Anak-anak pintar dapat piala,
anak-anak kreatif dapat rapor merah.
Anak-anak patuh dipuji Tuhan,
anak-anak kritis dikutuk neraka kurikulum.

Di ruang BK, anak yang depresi
diberi saran: “Rajin salat dan jangan main HP.”
Di ruang UKS, anak pingsan
didiagnosis lapar karena tidak sarapan,
padahal ia korban beban kurikulum yang rakus.

Aku menulis puisi ini,
di sela-sela pelajaran Ekonomi Mikro,
yang katanya bisa membuatku kaya,
padahal harga pulsa saja sudah bikin miskin.

Mereka bilang:
“Pendidikan akan memerdekakanmu!”
Tapi di akhir semester,
kami hanya merasa makin budak.


Refleksi Penutup

Puisi ini ingin menggugat sistem pendidikan yang hanya mencetak penghafal, bukan pemikir. Sindiran ditujukan pada kurikulum kaku, lembaga pendidikan yang lebih sibuk mengejar nilai daripada makna, serta masyarakat yang memuja prestasi kosong daripada keberanian berpikir kritis. Nilai moralnya: pendidikan sejati bukan soal banyaknya isi kepala, tapi keberanian menggunakannya untuk bertanya—dan menantang—dunia. Jika sekolah hanya menghafal, maka masa depan hanyalah angan panjang yang tak pernah menjejak tanah.


🧠 Judul: "Ijazah untuk Tuhan, Hafalan untuk Neraka"

📜 Pengantar:
Pendidikan katanya cahaya. Tapi kenapa mataku makin silau, bukan tercerahkan? Ini bukan sekolah, ini tambang hafalan—dan kami, kuli pikiran yang dibayar dengan nilai.

✍️ Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)



Selamat pagi wahai kelas suci, yang dibangun dari spanduk visi dan misi, yang mulia sembilan puluh persen anggaran terserap, sisanya habis buat beli fotokopi soal try out.

Di sinilah aku berdiri, dikelilingi papan tulis penuh mimpi orang lain, ku duduk di bangku tiga generasi, menghafal tentang pahlawan, padahal aku belum tahu arti berani.

Guru itu nabi tanpa wahyu, terjebak dalam kurikulum buatan birokrat tanpa anak, yang menulis silabus sambil makan camilan subsidi, memastikan anak petani tahu tentang hukum Newton, tapi tidak tahu cara menanam.

"Hafalkan!" kata guru dengan suara pengeras yang rusak, seolah suara nyaring itu mampu masuk ke otak yang penuh kelaparan.

Aku hafal perbedaan Homo Sapiens dan Neanderthal, tapi tak tahu cara menolak pinjol yang mengintai ibuku.

Aku tahu nama-nama kabinet Indonesia Maju, tapi tak tahu ke mana larinya anggaran bos gratis yang katanya merata.

Nilai 100 di raporku adalah hasil kesepakatan: aku diam di kelas, tidak bertanya, mereka beri nilai sebagai upah ketakutanku.

Sekolah kami ada upacara tiap Senin, tapi tak ada upaya tiap hari, kami diajari mencintai tanah air, tapi tak boleh bicara soal tanah yang digusur.

Matematika diajarkan dengan mistisisme, "Tak perlu paham, yang penting rumusnya dihafal." Tapi ketika hidup memberi soal cerita, kami semua bingung mencari akar kuadrat kebodohan sistem.

Biologi? Dihafal. Fungsi organ, nama latin, dan diagram sel. Tapi ketika tubuhku bergetar karena kecemasan, tidak ada satupun pelajaran yang bisa memberitahu: kenapa?

"Jangan bertanya kenapa!" kata guru agama yang mengajar sambil mengantuk. Tuhan disulap jadi semacam pengawas ujian, siap menghukum siapa saja yang tidak hafal ayat harian.

Kami diminta cinta negeri, tapi disuruh diam saat negeri memperkosa harapan. Kami diajari pentingnya kejujuran, tapi ujian dikerjakan bareng karena guru tak peduli.

Setiap tahun ada lomba baca puisi, tapi puisinya harus tentang semangat nasionalisme, tak boleh menyebut kata: 'gagal sistem', 'korupsi', atau 'ketimpangan'.

Kami disuruh jadi pemimpin masa depan, tapi harus tunduk seperti budak masa kini. Kami diajari bahwa kritik itu benci, dan bahwa bertanya itu tanda tak sopan.

"Kamu mau nilai atau mau benar?" kata seorang wali kelas saat kutanya kenapa kita bohong soal absensi. Jawabanku tak penting, karena logika telah dikubur bersama keinginan untuk hidup waras.

Pendidikan kita hebat, punya aplikasi digital serba canggih, tapi muridnya masih harus fotokopi soal sendiri, karena server sekolah down setiap ujian.

Kami diajari bahwa sukses itu kuliah di luar negeri, tapi tak pernah diajari mencintai kampung halaman. Kami diminta buat 'startup', padahal sinyal WiFi di sekolah sering dicuri guru buat nonton sinetron.

Aku bosan dengan ranking dan piagam, yang lebih banyak dibanding jatah makan siang. Aku benci pada sistem, yang memaksa otakku jadi lemari dokumen tak terpakai.

Sekolah bukan tempat bertumbuh, tapi tempat menjadi seragam. Seragam pikiran, seragam mimpi, seragam cita-cita.

Guru-guru kami lebih takut pada kepala sekolah, daripada rasa ingin tahu muridnya. Mereka lebih suka menyuruh diam, daripada mendengar anak bicara jujur.

Kami punya pelajaran Kewirausahaan, tapi guru yang ngajar bahkan takut buka warung sendiri. Kami punya pelajaran Etika, tapi tak pernah bicara tentang bagaimana menolak suap.

Kami punya pelajaran Seni Budaya, tapi ditertawakan kalau lukisanku tak mirip objek. "Seni itu bebas, tapi ikut buku," kata guru dengan gigi palsu.

Kami tahu rumus luas permukaan bola, tapi tak tahu cara melindungi dada dari depresi. Kami tahu kapan VOC berdiri, tapi tak tahu kenapa kami merasa seperti masih dijajah.

Pendidikan ini membanggakan keteraturan, tapi takut pada kekacauan jujur. Ia mengagungkan kedisiplinan palsu, tapi menolak kebebasan berpikir.

Kami adalah generasi yang disiapkan jadi mesin: Bisa menjawab soal, tapi tak bisa menyusun pertanyaan. Bisa tampil sopan, tapi hatinya retak. Bisa pakai dasi, tapi tak tahu siapa yang mengikat lehernya.

Hari kelulusan adalah hari besar, kami berdiri di panggung pakai toga sewaan, dengan senyum palsu dan ijazah cetak massal, sambil diam-diam menangis karena tak tahu mau ke mana.


Refleksi Penutup

Puisi ini ingin menjadi jeritan liar dari mereka yang pernah duduk di kursi hafalan, tapi pulang ke rumah dengan kepala penuh kekosongan. Sindiran ini menyasar sistem pendidikan yang lebih peduli pada bentuk daripada isi, pada nilai daripada makna, pada hafalan daripada pemahaman. Nilai moralnya? Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menjinakkan. Saat sekolah jadi tempat memadamkan api berpikir, maka kelulusan adalah bentuk paling indah dari kepalsuan massal.

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.