Kurikulum 2045: Ajaran yang Tak Relevan Sejak Dini

 


Kurikulum 2045: Tafsir Suci dari Buku Tua yang Terbakar

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)

"Selamat datang di masa depan yang dibentuk dari masa lalu yang tak pernah belajar."


Mereka bilang, ini kurikulum emas, Dirumuskan dalam ruangan steril ber-AC, Di mana papan tulis diganti layar LCD, Tapi isi buku masih menyimpan fosil abad lalu.

Para teknokrat bersetelan rapi, Mengangguk atas power point penuh jargon, "Berbasis kompetensi," katanya, Tapi tak pernah ada yang kompeten dalam menjawab: Untuk apa?

Anak-anak ditanam seperti bibit jagung GMO, Seragam, bersih, dan tanpa jiwa, Dikawinkan sejak dini dengan angka-angka, Namun tak pernah mengenal cinta pada tanya.

Budi pekerti diajarkan lewat animasi lucu, Sementara guru dikurung dalam rubrik penilaian, "Karakter unggul!"—teriak evaluasi daring, Padahal, nilai hidup tak pernah dicetak dalam rubrik.

Dari kelas satu hingga dua belas, Mereka hafal siapa yang menaklukkan Majapahit, Tapi lupa siapa yang menaklukkan rasa takut dalam diri, Mereka tahu rumus, tapi tak kenal resah.


Kurikulum 2045, Dibumbui AI, dibungkus revolusi industri keempat, Tapi masih menyimpan rasa takut pada pertanyaan: "Mengapa aku harus belajar ini?"

Anak-anak diajari coding sebelum tahu arti hidup, Dapat nilai A dalam logika, tapi gagal membaca suasana hati, Mereka mahir membuat aplikasi simulasi emosi, Namun tak tahu cara memeluk kesedihan teman.

Mereka uji coba drone dalam pelajaran IPA, Tapi tak tahu arah pulang saat hatinya jatuh. Mereka cerdas menjawab soal HOTS, Tapi beku ketika ditanya, "Apa mimpimu?"


Sementara itu, para guru bersuara pelan, Diancam pengurangan tunjangan jika tak ikut pelatihan daring, Mereka yang dahulu mengajar dengan hati, Kini mengejar SKP dan akreditasi.

"Kreativitas! Inovasi! Transformasi digital!" Teriak kepala sekolah yang tak bisa login e-rapor, Guru dipaksa menari di TikTok untuk engagement, Sementara muridnya ingin diam dan merenung.


Anak-anak kini lulus dengan ijazah digital, Tapi tak pernah diajarkan cara gagal, Mereka tahu cara menang lomba poster virtual, Namun tak tahu cara menerima patah hati.

Mereka dilatih presentasi lima menit, Tapi tidak bisa berbicara lima detik dengan orangtua, Mereka jago literasi data, Tapi buta huruf empati.


Kurikulum 2045: Sebuah resep gado-gado multinasional, Ada Finlandia, Jepang, dan Harvard dalam satu modul, Namun tak pernah tanya, "Apa yang dibutuhkan si anak kampung?"

Dari Aceh sampai Papua, Mereka dijejali topik globalisasi, Tapi tak pernah tahu nama pohon di halaman sekolah, Mereka tahu apa itu Amazon, Tapi tidak pernah ke sawah.


Guru disuruh membuat LKPD kreatif, Diberi pelatihan dua hari dengan 80 slide, Lalu dievaluasi lewat Google Form, "Apakah Anda sudah mengintegrasikan budaya lokal dengan kurikulum P5?"

P5: Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, Sebuah akronim panjang yang tak sempat dijelaskan, Anak-anak bingung, guru lebih bingung, Tapi semua tetap senyum dalam foto kegiatan.


Ada rubrik menilai "gotong royong," Tapi tak ada waktu untuk kerja kelompok, Ada indikator "berpikir kritis," Tapi jangan tanya kenapa buku agama tak bisa dibantah.

Murid yang banyak tanya disebut mengganggu, Guru yang banyak protes disebut tidak adaptif, Semua harus positif, produktif, inovatif, Karena algoritma penilaian tidak paham ironi.


Kurikulum 2045, Arah masa depan yang disusun oleh masa lalu, Modul disusun dalam bahasa birokrasi, Sampai anak tak paham lagi bahasa hati.

Anak-anak dijejali proyek, Tanpa waktu bermain, Kreativitas diukur lewat Power Point, Dan kritik disebut tidak sopan.


Mereka bangga dengan prestasi Olimpiade, Tapi tidak tahu siapa yang sedang menangis diam-diam di bangku belakang, Mereka foto bareng saat wisuda daring, Tapi tak tahu nama teman sebangkunya.

Anak-anak yang ingin menjadi pelukis, Dipaksa mempelajari ekonomi mikro, Anak-anak yang ingin jadi petani, Disuruh menulis esai tentang start-up dan unicorn.


Pendidikan adalah taman, Tapi kini menjadi pabrik, Mengekspor anak-anak dengan nilai tinggi dan hati mati, Lulus dengan penuh hafalan, tapi penuh angan.

Guru bukan lagi pendidik, Tapi operator sistem, Murid bukan lagi insan, Tapi data dalam dashboard kementerian.


Kurikulum 2045: Sebuah upaya menyelamatkan wajah pendidikan, Tapi lupa menyelamatkan jiwanya, Lebih sibuk mengatur "output," Daripada menghidupi "makna."


Refleksi Akhir

Puisi ini adalah sebuah jeritan lirih—namun tajam—atas kondisi pendidikan masa depan yang terlihat canggih, namun kehilangan roh kemanusiaannya. Sindiran ini ditujukan pada sistem pendidikan yang terlalu cepat berubah demi citra dan target politik, namun lambat mendengarkan suara anak-anak dan guru di akar rumput. Pesan moralnya jelas: teknologi dan inovasi tidak bisa menggantikan hati nurani dan kearifan lokal. Kurikulum masa depan tidak boleh menjadi wahana proyek ambisius semata, tapi harus menjadi rumah yang hangat bagi pertumbuhan jiwa manusia.


Judul: Kurikulum 2045: Wisuda dari Kandang Ayam Digital

"Selamat datang di masa depan yang dibesarkan dengan masa lalu—dihafal, bukan dipahami; dicerna, tapi tak pernah diserap."

Karya Pengembara Hidup: Jeffrie Gerry (Japra)


Aku berdiri di depan kelas, Dengan kepala penuh angka, rumus, dan tahun kejayaan raja yang bahkan tidak tahu cara mengaktifkan mode pesawat. Murid-murid duduk kaku seperti barisan barcode, Mereka tidak bernapas, mereka memproses.

Jam pelajaran Matematika: menghafal volume kerucut, Padahal hidup mereka akan penuh cicilan KPR dan utang digital. Biologi: nama Latin tumbuhan, Tapi tak tahu nama tanaman yang bisa menyembuhkan stres kerja akibat sistem korporat distopia.

Bahasa Indonesia: disuruh bedah puisi Chairil, Tapi dilarang menulis puisi protes. Karena ekspresi adalah dosa dalam kurikulum suci 2045, Yang lebih suci dari kitab suci, Lebih mutakhir dari nenek moyang, Tapi tak pernah update sejak zaman kalkulator Casio.

Para guru bukan lagi pengajar, Mereka kini penjaga kebun binatang memori, Memastikan setiap monyet kecil menghafal nama pemimpin Majapahit Namun tak mengenali pemimpin yang menjual masa depan mereka pada saham pendidikan.

"Anak-anak, siapa yang tahu teori evolusi?" Semua angkat tangan dengan cepat—hasil pelatihan aplikasi bimbel instan. "Sekarang, siapa yang tahu bagaimana cara berkembang sebagai manusia?" Hening. Mikrofon spiritual mereka rusak sejak TK, Digantikan dengan dongeng-dongeng sukses versi kapitalisme algoritmik.

Seorang siswa menangis diam-diam, Bukan karena tak bisa jawab soal, Tapi karena tak tahu kenapa hidupnya harus ditentukan oleh LJK. Pensil 2B lebih menentukan masa depan dari pada keberanian mencipta.

Dari usia lima, Mereka digiring masuk kandang dengan nama mewah: PAUD, Lalu disembelih kreatifitasnya perlahan di SD, SMP, SMA, Hingga dikuliti habis di universitas mahal bertabur akreditasi dan janji karier fiktif.

Setelah lulus? Mereka diberi toga, Tapi yang dipikul bukan ilmu, Melainkan trauma pendidikan kronis yang menular hingga anak cucu.

"Apa cita-citamu, Nak?" "Menjadi algoritma yang bisa diterima pasar kerja." Mimpi yang dikerangkeng sejak dini, Dibingkai dengan kata-kata motivasi seperti: "Kerja keras tak akan mengkhianati hasil" Padahal sistem sudah mengkhianati sejak halaman pertama silabus.

Guru-guru menyuruh mereka hafal sejarah, Tapi lupa mengajarkan makna jadi bagian dari sejarah. Kurikulum 2045 membentuk zombie literasi: Penuh kata, miskin makna, Penuh angka, nihil arah.

"Pelajaran PPKN, siapa yang tahu sila keempat?" Semua serempak menjawab dengan nyaring seperti mesin kasir: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan..." Tapi saat ditanya apa itu rakyat, Jawaban tercepat: "akun TikTok dengan followers terbanyak."

Ah, pendidikan karakter! Kami diajari jujur dalam ujian yang penuh contekan sistemik. Kami dipaksa gotong royong dalam tugas individu yang dikerjakan Google. Kami disuruh hormati guru, Sementara guru dipaksa hormat pada sistem bodoh yang digodok di rapat menteri berjas abu-abu.

Kurikulum 2045: Kitab digital dari mimpi basah birokrat Yang ingin anak-anak jadi seragam, Bukan beragam.

Semua dibakukan, Bahkan bakat harus sesuai standar nasional. Anak yang jago melukis? Dinyatakan tidak kompeten karena gagal UN matematika. Anak yang jago berdebat? Dicap pembangkang karena mempertanyakan sistem.

Kami diajari jangan bertanya terlalu dalam, Karena kedalaman hanya milik laut, Dan anak-anak kurikulum harus tetap mengapung, Agar tidak tenggelam dalam pikiran sendiri.

Semua berpacu dengan waktu, Tapi tak satu pun tahu hendak ke mana. Agenda belajar dipenuhi tema-tema pembangunan berkelanjutan, Tapi sekolah sendiri tak punya ventilasi dan atapnya bocor.

Teknologi disuntikkan seperti vaksin, "Kita akan bertransformasi digital!" Namun koneksi WiFi selalu putus saat simulasi AKM, Dan guru bingung buka Zoom, Tapi diwajibkan menilai karakter anak lewat spreadsheet.

Setiap tahun muncul revisi kurikulum, Bukan karena sadar kesalahan, Tapi demi tender proyek kertas dan pelatihan online, Karena di balik setiap kata dalam silabus, Ada nilai rupiah yang harus dicairkan sebelum Desember.

Anak-anak tak lagi belajar mencipta, Mereka dilatih membaca rubrik penilaian, Menyesuaikan diri agar sesuai deskriptor.

Karena jadi manusia tak penting, Yang penting jadi lulusan dengan nilai KKM terpenuhi.

Sekolah jadi sirkus: Guru jadi badut bersertifikat, Siswa jadi penonton yang wajib tepuk tangan. Setiap bulan ada lomba, proyek, presentasi, Semua atas nama "penguatan profil pelajar Pancasila" Tapi kalau ditanya: "Apa makna hidup?" Jawabnya: "Maaf, itu tidak ada di kisi-kisi."

Penutup: Refleksi dari Kandang Lulusan

Kurikulum 2045 adalah satire kehidupan yang dikemas dalam slide PowerPoint dan jargon birokrasi. Ia menyasar sistem pendidikan yang tak pernah sungguh-sungguh ingin membebaskan manusia—hanya ingin mencetak mereka seperti produk. Sindiran ini adalah cermin bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan institusi pendidikan yang lebih sibuk menjaga ranking internasional daripada memanusiakan manusia. Pesan moralnya sederhana namun dalam: pendidikan seharusnya membebaskan pikiran, bukan membonsainya dalam kotak bernama standar nasional.

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.