Pengantar Pendek:
"Di negeri kami, kecerdasan dirayakan dengan lembaran soal dan jawaban, tapi kehidupan justru gagal diisi oleh pilihan ganda."
— Karya Pujangga Digital : Jeffrie Gerry (Japra)
Puisi Monolog Satir: Ujian Nasional – Ritual Tahunan Pemotongan Nalar
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry
Selamat datang, anak bangsa yang dilatih menghafal,
bukan untuk hidup, tapi untuk selamat dari soal.
Ujian Nasional — pesta tahunan paling sakral,
di mana logika dipangkas, dan kecemasan jadi ritual.
Duduklah tenang, buka lembar jawaban,
isi dengan ketakutan dan sedikit harapan.
Jangan bertanya kenapa semua ini terjadi,
karena berpikir adalah dosa di negeri ini.
Lonceng berbunyi—bukan untuk belajar,
tapi mengabarkan: "Ayo, latih kemampuan menjilat angka!"
Soal nomor satu:
"Jika kamu miskin tapi jujur, dan temanmu kaya tapi korup,
siapa yang akan dapat beasiswa?"
(A. Temanmu, B. Temanmu, C. Temanmu, D. Semua benar)
Mereka bilang ini adil,
sebab semua duduk di bangku yang sama—
tapi tidak semua punya kursi yang empuk,
buku yang baru, atau rumah yang tidak bocor.
Apa kamu paham, Nak,
bahwa jawabanmu yang salah bukan karena kamu bodoh,
tapi karena hidupmu tidak cukup standar
untuk jadi pilihan ganda?
Buku-buku tebal di rak sekolah itu,
lebih sering menjadi alas tidur guru ketimbang bahan ajar.
Dan guru, oh guru—
yang dibebani dengan kurikulum padat seperti mi instan,
dipaksa mengajar seragam untuk murid yang beragam.
Selamat datang di dunia tempat IQ diukur dari skor,
bukan dari keberanian bertanya “kenapa?”
Di sini, anak-anak pandai diam
dan guru dihargai karena patuh, bukan karena inspiratif.
Matematika: jumlahkan rasa takut,
Bahasa Indonesia: karang narasi tentang mimpi yang tak boleh terlalu tinggi,
IPA: bedah tubuh pengetahuan tanpa hati nurani,
IPS: pelajari sejarah yang sudah disunat oleh kekuasaan.
Dan kamu harus hafal itu semua.
Karena nilai adalah nadi.
Karena angka adalah harga diri.
Karena tanpa nilai tinggi,
kamu bukan siapa-siapa di negeri meritokrasi imitasi ini.
Murid yang kritis?
Silakan keluar dari kelas dan dijadikan peringatan.
Murid yang kreatif?
Silakan bawa pulang nilai rendah dan rasa malu di rumah.
Murid yang jujur?
Sungguh, engkau keliru memilih negara.
Ujian Nasional:
satu-satunya medan perang di mana semua prajurit wajib kalah
kecuali mereka yang pandai mencontek,
atau punya koneksi lebih cepat dari modem sekolah.
Anak-anak kota pakai bimbel,
anak-anak desa pakai doa.
Yang satu berlatih dengan simulasi komputer,
yang satu bertaruh pada listrik yang kadang lupa menyala.
“Adil,” kata mereka—
dengan mimik muka seperti dewa-dewa pendidikan,
yang tak pernah menyentuh kapur,
tapi rajin mengatur gaji guru honor.
Oh anakku, hari ini kamu diuji,
bukan oleh sains atau moral,
tapi oleh sistem yang ingin memastikan
kamu tak akan bertanya terlalu banyak
dan tak akan bermimpi terlalu besar.
Ironis, bukan?
Bahwa pelajaran hidup tak pernah diajarkan,
tapi kegagalan hidupmu akan diukur dari hasil lembar jawaban.
Apa kamu tahu,
bahwa nilai sempurna belum tentu berarti kamu akan bekerja,
dan nilai jelek belum tentu berarti kamu gagal selamanya?
Mereka tak pernah mengujimu soal kesabaran,
soal bagaimana kamu bertahan saat keluarga hancur,
soal bagaimana kamu bangkit saat hidup menusuk,
soal bagaimana kamu memilih tetap jujur
meski tahu itu jalan yang sunyi dan rugi.
Ujian Nasional bukan ujian sesungguhnya.
Ia hanya simulasi—dari absurditas besar yang disebut sistem.
Tapi jika kamu selamat hari ini,
ingatlah untuk tetap jadi manusia.
Bukan robot penghafal rumus.
Bukan budak nilai dan sertifikat.
Tapi manusia—yang tahu bahwa berpikir adalah hak,
bukan pelanggaran.
Dan kepada para pencipta soal,
yang menulis dari balik meja kaca,
berpikir bahwa kecerdasan bisa diringkas
dalam 40 soal pilihan ganda:
Terima kasih.
Kalian telah menciptakan generasi yang hafal isi buku,
tapi tak tahu caranya hidup.
Terima kasih,
karena kalian memotong nalar demi efisiensi statistik.
Terima kasih,
karena kalian mengajarkan kami bahwa menang adalah segala-galanya,
meski harus curang.
Tapi suatu hari nanti,
anak-anak yang kalian cetak hari ini
akan menjadi pengubah dunia—
karena mereka tahu rasanya dibungkam,
dan mereka akan menciptakan ruang yang benar-benar merdeka untuk berpikir.
Ujian Nasional:
Ritual tahunan pemotongan nalar.
Tapi dari luka-luka kecilnya,
akan tumbuh logika yang bandel dan tak bisa disembelih.
Dan kami akan tertawa—
bukan karena lelucon kalian lucu,
tapi karena akhirnya kami sadar:
sistem ini hanya kuat jika kami terus diam.
Hari ini kami ujian.
Tapi besok, kami yang akan menguji kalian.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry:
Puisi ini bukan sekadar kritik,
melainkan seruan—agar pendidikan kembali pada tujuan mulianya:
menumbuhkan manusia merdeka, bukan hanya penghafal jawaban.
Semoga dari satir dan ironi ini,
tumbuh harapan dan keberanian untuk berpikir di luar lembar ujian.