Pelajaran Moral dalam Ruang Tanpa Moral

 


"Pelajaran Moral dalam Ruang Tanpa Moral"

Karya pujangga digital: Jeffrie Gerry


(Monolog satu-satunya, dari sang Guru Kehidupan yang tak pernah lulus ujian hidup)

Selamat datang, anak-anak bangsa,
Di ruang suci, tempat kita menanam moral—di atas meja besi,
Yang saban hari kita poles dengan nilai-nilai Pancasila,
Namun kita makan bersama kebohongan di sela waktu istirahat.

Aku guru, pengajar akhlak mulia,
Dengan kurikulum yang ditulis oleh tangan yang tak pernah bertanya,
“Apa kabar nurani hari ini?”
Karena nurani sudah dihapus dari silabus, diganti lembar evaluasi.

Kita ajar sopan santun pada anak-anak,
Sambil mencubit telinga mereka yang tak bisa menghafal kalimat “Aku cinta lingkungan.”
Padahal di luar jendela, tong sampah pun sudah bosan menerima cinta semu.
Sampah berserakan, tapi nilai anak-anak kita—sempurna.


Mari kita mulai pelajaran hari ini:
Bab satu—Integritas.
Sila buka buku cetak, halaman dua puluh dua,
Gambarnya: seorang anak jujur yang mengembalikan dompet.
Ironi, karena di halaman berikutnya,
Kita ajarkan strategi mencontek elegan tanpa ketahuan CCTV.

Bab dua—Empati.
Kita ajar mereka menangis jika teman sedih,
Tapi saat nilai rapor diumumkan,
Tangis teman dijawab, “Dasar bodoh, makanya belajar, dong!”

Bab tiga—Tanggung jawab.
Yang dimaksud: seragam rapi, rambut tiga senti,
Bukan tanggung jawab moral atas berita hoaks yang viral dari grup wali murid,
Karena itu... urusan orang tua, bukan guru.


Dan di akhir semester,
Kita gelar lomba pidato bertema “Moral Remaja Masa Kini.”
Pemenangnya: anak pejabat yang tulisannya diplagiasi dari internet.
Tapi suaranya lantang,
Mimiknya bersemangat,
Dan tentu... orang tuanya donatur sekolah.

Tak apalah,
Nilai moral bisa dinegosiasi asal niat baik, katanya.
Sebab kita hidup dalam negeri di mana nilai-nilai luhur…
adalah opsional, selama kamu lulus UNBK.


Tapi jangan khawatir,
Saya bukan guru sembarangan.
Saya lulusan pendidikan karakter,
Yang ijazahnya saya dapat dari seminar daring tiga jam,
Sertifikatnya berbingkai,
Disandingkan dengan piagam penghargaan sebagai Guru Teladan versi media lokal,
Yang sponsor utamanya: perusahaan rokok yang peduli pendidikan.


Aku ajar anak-anak tentang korupsi,
Bahwa itu dosa besar,
Sambil memotong anggaran ekstrakurikuler demi beli AC ruang guru.
Aku ajar tentang persatuan,
Sambil mencibir murid beda agama yang tak ikut doa bersama.
Aku ajar kebebasan berekspresi,
Sambil menyuruh mereka diam saat bertanya “Kenapa kita harus hafal, bukan paham?”


Mari kita akui bersama:
Ini bukan ruang belajar.
Ini ruang akting massal.
Semua kita perankan peran moral
Tanpa pernah benar-benar menyentuh moral itu sendiri.
Anak-anak bukan murid,
Mereka adalah statistik—angka yang ditargetkan naik per tahun ajaran.
Dan guru bukan pendidik,
Kami hanya penyampai pesan sponsor:
“Jadilah baik, tapi jangan kritis.”
“Jadilah jujur, asal jangan kejujuran yang merugikan sistem.”


Tapi aku sadar—terlambat memang—
Bahwa moral tak bisa diajarkan lewat power point.
Bahwa anak-anak lebih peka dari yang kita duga.
Mereka melihat, lebih dari mendengar.
Mereka meniru, bukan menghafal.
Dan sayangnya, yang mereka tiru…
bukan kutipan bijak di dinding kelas,
Tapi caraku menyikut demi promosi pangkat.


Dan di suatu hari,
Seorang anak bertanya padaku, polos:
“Pak, kenapa kita belajar moral di tempat yang tidak bermoral?”
Aku terdiam.
Tak ada jawaban dalam buku pegangan guru.
Tak ada instruksi di diktat pelatihan.
Tak ada tutorial di YouTube.
Hanya keheningan…
Yang menggema lebih nyaring daripada seluruh ceramahku selama ini.


Malam itu,
Aku duduk sendiri, memandangi rapor moral milikku sendiri.
Catatannya panjang:

  • Pandai berkata, kurang berbuat.

  • Menilai, tapi tak bercermin.

  • Mengajarkan empati tanpa pernah mendengar.

  • Membuat aturan tanpa keteladanan.

Dan akhirnya, aku lulus juga.
Dari sekolah kejujuran yang kudirikan di hati.
Karena aku tahu,
Tak ada guna aku mengajar moral
Jika aku sendiri tak sedang belajar jadi manusia.


Pesan untuk anak-anak, orang tua, guru, dan siapa pun yang hidup dalam sistem ini:

Moral bukan pelajaran.
Ia bukan soal nilai, bukan soal hafalan, bukan soal kurikulum.
Ia adalah pilihan.
Yang diajarkan bukan dari mulut ke mulut,
Tapi dari laku ke laku.
Dari cara kita marah,
Cara kita minta maaf,
Cara kita mengakui salah,
Dan cara kita memperbaiki diri—meski terlambat.


Dan sepatah kata dari sang Pujangga Digital, Jeffrie Gerry:

“Puisi ini bukan sekadar cermin, tapi tamparan. Bukan untuk menyakiti, tapi untuk membangunkan. Karena dalam tidur panjang bangsa ini, kadang satu-satunya alarm yang bisa membangunkan adalah suara ironi.”

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.