Ranking Satu, Tapi Gagal Paham Hidup
Karya Pujangga Digital: Jeffrie Gerry
(Monolog Satir di Panggung Pikiran)
Hai, aku—ranking satu.
Berseragam rapi, rambut tiga sentimeter,
senyumku terukir seperti grafik naik pesat.
Nilai-nilaiku? Silakan lihat rapor:
Matematika 100.
Bahasa Indonesia 98 (minus dua karena lupa titik).
IPA? Sudah jelas, Einstein pun cemburu.
Tapi...
hari ini aku menangis di toilet sekolah.
Tertawa kecil sambil membaca soal:
“Apa tujuan hidupmu?”
Aku jawab:
“Menjadi ranking satu.”
Lucu ya?
Lucu seperti badut di pesta ulang tahun
yang tak diundang, tapi disuruh joget
agar yang lain bisa tertawa.
Dulu, guru-guruku bilang:
“Kalau kamu pintar, masa depanmu cerah.”
Jadi aku menghafal
Peta dunia sampai bentuk awan di atas Afrika,
Hukum Newton sampai gaya tarik mantan,
dan sejarah perang yang katanya demi perdamaian.
Tapi tak satu pun dari mereka
mengajarkanku
cara menolak ajakan merokok,
cara bilang “tidak” ketika dipaksa cinta,
cara bertahan di meja makan saat ayah diam
dan ibu menangis
karena utang.
Aku ranking satu.
Tahu segala soal pilihan ganda.
Tapi gagal memilih jalan hidup.
Karena di luar lembar jawaban,
tidak ada “A, B, C, D”.
Hanya dunia abu-abu dan harapan samar.
Ironis, bukan?
Aku hafal sembilan planet
(tapi Pluto katanya dipecat)
tapi tak tahu
bagaimana menjadi manusia.
Oh, dan lihatlah...
Bagaimana ibu memamerkanku di Facebook:
“Anakku rangking satu! Bangga banget!”
—lengkap dengan emoji bintang dan caption motivasi murahan.
Sementara aku?
Makan malam sendirian
di atas meja tugas.
Karena cinta kadang dikira prestasi.
Ranking satu, tapi tak tahu
cara jatuh cinta tanpa trauma,
cara percaya tanpa luka,
cara menjadi biasa saja dan tetap bahagia.
Ranking satu, tapi gagal paham hidup.
Seperti robot yang lulus ujian
tapi gagal dipakai di kehidupan nyata.
Karena hidup tak bisa dinilai
pakai lembar koreksi mesin.
Lucunya, aku diajari
semua tentang statistik,
tapi tak pernah tahu
kenapa setiap malam ada tangis di kamar.
Diajar soal organ tubuh,
tapi tak tahu caranya menyembuhkan
hati yang patah.
Ranking satu katanya simbol sukses.
Tapi sukses yang seperti apa?
Yang bisa kau bingkai,
tapi tak bisa kau peluk?
Guruku bilang:
“Jangan main HP terus, nanti bodoh.”
Tapi dia sendiri
tak tahu bedanya Google dan kehidupan nyata.
Dia hanya ingin
muridnya jadi hafalan berjalan.
Aku menulis puisi di balik LKS.
Disobek.
Katanya tak penting.
Karena puisi tak akan membawamu jadi PNS.
Lucunya,
aku tahu nama semua tulang di tubuh,
tapi tak tahu kenapa tulang punggung ayah
kian membungkuk
demi membiayai mimpiku
yang tak kumengerti.
Dan lihat temanku, si Budi.
Rankingnya dua puluh.
Tapi tahu cara membuat kopi untuk ibunya.
Tahu kapan harus pulang,
dan kapan harus diam.
Dia bodoh menurut nilai.
Tapi jenius menurut hati.
Si Budi ini,
mungkin ranking terakhir
tapi paling duluan paham hidup.
Sarkastik sekali, ya?
Bahwa aku—ranking satu—
dapat tepuk tangan saat wisuda,
tapi lupa bagaimana cara tertawa.
Parodinya?
Aku dijadikan contoh oleh guru,
tapi tak pernah dijadikan teman oleh diri sendiri.
Ranking satu.
Tapi overthinking tiap malam.
Menangis sambil mengerjakan PR,
karena takut tidak sempurna.
Takut nilai 95 disebut “bisa lebih baik”
oleh ibu-ibu tetangga.
Paradoxnya?
Aku berdoa agar lulus UTBK,
tapi tak tahu jurusan apa yang kusuka.
Karena sejak kecil,
aku diajari mencintai nilai,
bukan diri sendiri.
Dan sekarang,
di usia 23,
aku kerja di perusahaan besar,
duduk di kursi ergonomis,
dengan gaji tetap dan senyum palsu.
Ranking satu...
Tapi butuh YouTube untuk belajar cara bahagia.
Monologku panjang,
karena aku tidak pernah didengar.
Ranking satu
bukan berarti segalanya beres.
Ranking satu
kadang hanya simbol
bahwa aku jago meniru.
Meniru jawaban.
Meniru harapan.
Meniru hidup yang bukan milikku.
Pesanku untukmu, wahai adik-adik penerus:
Belajarlah.
Tapi jangan lupa bernapas.
Kejar nilai.
Tapi jangan tinggalkan nurani.
Pintar itu perlu,
tapi hidup butuh lebih dari sekadar angka.
Tertawalah,
meski nilaimu 70.
Menangislah,
meski semua bilang kamu kuat.
Karena ranking satu tak ada artinya,
kalau kamu gagal paham
tentang dirimu sendiri.
Sepatah Kata dari Jeffrie Gerry:
“Puisi ini bukan untuk merendahkan prestasi,
tapi untuk mengingatkan: hidup tak melulu soal ranking.
Sebab manusia bukan angka.
Dan sukses bukan seragam.
Mari lahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis,
tapi juga cerdas mencintai hidup.”